10 May 2007

SALAM untuk SALAM

Jalan desa kampung Salam, pelabuhan Alaji. Pertempuran semakin sengit, barisan blokade yang kami buat ternyata cukup memberi arti. Mungkin tempat yag kami sebut benteng ini tidak akan bertahan lama, tapi jika kami dapat bertahan beberapa hari lagi mungkin keadaan akan jauh lebih baik.
Di belakang kami para tetua adat dan masyarakat sedang mempersiapkan pasukan yang akan menyerang orang berhidung sampan terbalik itu beberapa hari lagi. Aku ingat Amir yang dari seminggu lalu sudah berlatih melakukan gerak serang dalam air di anak sungai kampong Salam. Bersama beberapa puluh orang pemuda lain yang terpilih menjadi pasukan inti. Dan kami yakin bahwa yang kami lakukan tidak akan sia-sia, karna kami punya sebuah senjata yang tidk mungkin di miliki oleh orang-orang berkulit aneh dan bau itu. Kami memiliki Tekad dan Iman yang tidak dapat mereka beli.
***
Aku sendiri tidak terpilih dalam pasukan itu karna aku tak terlalu mahir bermain keris dan tombak di dalam air. Dan kini dengan beberapa kawanku aku menjadi pasukan pengacau bagi tentara berbaju kulit dan bertopi besi itu. Tugas kami mulai dari membuat parit dan lubang jebakan sampai harus jadi umpan untuk mengalihkan perhatian mereka agar tidak berkonsentrasi melakukan pembangunan marks mereka, karna jika markas mereka dapat di selesaikan cepat. Tentu akan sangat merepotkan. Bayang kan saja dengan senjata yang mereka sebut ”geweer” dan ”geschut”[1] itu kami hampir tidak memiliki kesempatan untuk mendekati mereka.
***
”Ji...,Aji,” teriak Barto dari belakang, ”ada apa” timpalku.
”Kita sudah kehabisan Katak buat makan besok, ini yang terakhir.” sambil berjalan mendekati teman-teman yang lain untuk membagikan makanan yang kami sebut katak.
”Ji..., sampai berapa lama lagi kita harus main sembunyi tikus dari kucing seperti ini?” gumamnya padaku sambil memberikan ku jatah makan yang tak seberapa banyaknya itu.
”Sabarlah To, mungkin akan ada yang akan mengantarkan kita makanan kesini, atau mungkin ada utusan yang akan memberitau kita bahwa tugas kita sudah berakhir, atau mungkin merekapun memang sedang sibuk dan sama kekurangannya seperti kita. Yang terpenting sekarang adalah kita harus tetap pada tujuan semula. Jangan sampai kita malah jadi berburuk sangka pada mereka apalagi sampai menuduh mereka yang tidak benar.”
Pagi ini kami mulai bersiap untuk melihat kadaan mereka para penjajah negri-negri. Kabarnya mereka sudah merhasil menguasai banyak negri, menundukkan banyak raja, membinasakan banyak nyawa, merampas banyak harta, mulai dari orang miskin sampai orang kaya. Bukan hanya itu mereka juga menculik banyak wanita dan anak-anak untuk di jadikan budak atau hanya untuk mereka permainkan sebagai pemuas hawa nafsu nya. Mungkin di dalam sana, di kapal-kapal mereka adikku masih hidup. Dari Barto aku tau jumlah mereka sekitar 800 orang. Dengan jumlah sebegitu besarnya dan dilengnkapi dengan senjata yang berbunyi nyaring itu, kampung kami dapat dengan mudah di taklukkan.
***
Kampung Salam yang terletak di pulau Salam ini memang bukan pulau yang begitu besar dan subur. Tapi menurut para tetua pulau kami ini sangat strategis untuk di jadikan markas karena memiliki tambang besi dan sumber ikan yang banyak. Hingga kini kampung salam yang berada di pulau salam ini sangat terkenal hasil besinnya. Begitu pula dengan pemudanya yang pandai memainkan senjata.
Kami menjual hasil kerajinan kami ke pasar di kota raja, sekitar setengah hari perjalanan dari si kampung kami denngan menggunakan sampan dan kapal dayung. Kami dikenal sebagai orang yang tidak suka berperang walaupun kami pandai bersilat dengan keris dan tombak. Itu karna kami tau diri, kami merupakan orang yang minoritas di sini jadi harus panddai untuk mengambil hati orang lain.
Kebanyakan dari kami adalah nelayan dan tukang besi. Pertanian desa kami hanya singkong dan pohon kelapa. Itupun hanya dapat mencukupi kebutuhan orang-orang kampung saja. Katak adalah makanan yang di buat dari kedua bahan tersebut.
***
Keadaan tiba tiba berubah menjadi begitu kacau, mereka menyerbu benteng kami dengan kekuatan penuh ketika kami sedang beristirahat pada malam hari. Kami fikir mereka akan mengkonsentrasikan kegiatan mereka pada pembangunan markas mereka hingga beberapa hari kedepan. Dan kami berencana menyerbu kapal-kapal mereka besok malam. Dan ternyata kami kalah cepat bergerak dengan mereka.
”To.., cepat beri kabar pada orang desa tentang hal ini, dan jangan lupa untuk mengirimkan bantuan ke sini. Sebaiknya penyerangan kapal di lakukan malam ini juga karna pasti mereka sedang mengkonsentrasikan kekuatannya di sini. Dan kamu sebaiknya tidak usah kembali, karna kamu harus menuntun mereka menuju kapal-kapal iblis merah aneh itu. Dan aku juga minta tolong padamu untuk meyampaikan salamku untuk Amir agar ia tidak lupa menyelamatkan adikku yang mungkin masih hidup di dalam sana. Dan titip ini untuk Fitri. Sebuah belati yang aku buat sendiri sepanjang satu jengkal, yang berukirkan ” jangan takut ” di gagangnya. ”
Cepat Barto menoleh pergi berlari di antara semak dan menoleh sejenak sambil berucap tanpa suara ”ALLAHU AKKBAR.” aku hampir tidak dapat melihat gerak bibirnya. Tapi aku bisa merasakan getar dan hangat yang sangat saat dia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya setinggi dada.
”Jaka, Dullah dan Arif kemari!” sahutku. ”kalian cepat naik ke atas pohon dan bersiap memanah barisan penembak mereka, dan jangan turun sampai mereka berada tepat di bawah kalian.”
”Yang lainnya...! cepat buat blokade di setiap pos kalian, dan jangan sampai kalian terlihat oleh lawan. Usahakan untuk tetap tenang dan seranglah sesuai dengan rencana yang telah kita sepakati. Ingatlah bahwa apapun yang terjadi dengan kita hari ini, ALLAH S.W.T maha mengnetahui amal hamba-hambanya. Tidaklah IA menurunkan suatu cobaan kepada umatnya, kecuali untuk memisahkan antara orang-orang yang ingkar dan yang benar-benar beriman. Dan bagaimanapun akhir dari seluruh pengorbanan ini, sungguh akan kitaserahkan seluruhnya pada Zat yang menguasai dunia dan akhirat. Apa kalian paham?” dengan berbisik aku mengkomando kawan-kawanku. Dan dengan serentak mereka menganggukkan kepala tanda kefahaman dan kebulatan tekat serta teguhnya imam yang kami miliki.
Tanpa di komando mereka segera bergerak teratur dan hampir tanpa suara. Semua telah megerti apa yang harus dilakukan.
Tentara belanda itu segera saja datang sambil mencoba mencium wangi raga kami yang terasa segar di hidung mereka. Bagi mereka setiap badan dan juga nyawa adalah mainan boneka yang siap di tembak dengan senapan, dan di kirim ke tempat pembuangngan untuk di kubur atau di tumpuk hingga membusuk. Agar jika ada orang yangmelihatnya akan merasa takut pada mereka. Juga dengan meriam yang mereka tarik itu seolah-olah mereka berteriak; ”Kalian hanya kecoa yang tidak akan mampu mendekati kami apalagi untuk mengotori seragam kami yang gagah ini.”
Tapi itu semua terlihat berbeda di mata kami. Setiap tubuk mereka adalah hadiyah yang sangat membangngakan untuk di terima dengan keris dan pedang, ataupun seperti harta yang halal untuk di rampas denngan tiap mata panah kami. Tapi diantara kami ada yang mengganggapnya seekor babi atau anjing na’jis yang siap menularkan penyakit dan kotoran yang sulit untuk di cari penawarnya sehingga harus segera di bunuh atau di usir. Tapi apapun anggapan aku dan kawan-kawan semua pada mereka, satu yang kami ingat adalah ”janganlah kalian memerangi suatu kaum sampai ia mengeluarkan kalian dari negri kalian,” serta ”berjihadlah kalian dengan harta kalian dan diri kalian dijalan Allah ...”
Sketika mereka terkejut dengan kehadiran anak panah kami yang langsung merampas kesadaran mereka, tepat di depan hidung paruh ayam mereka. Hanya dengan satu aba-aba dariku mereka langsung meresponnya dengan kelebat anak panah yang di susul dengan suara letusan senapan dan teriakan mereka. ”opletten..!”[2] teriak komandan mereka sebelum sebuah keris menghujam dadanya dan membuat sebuah ruang yang menganaga di jantung hitamnya. Begitu pula denganku yang langsung merasakan panasnnya timah dari serdadu-serdadu terkutuk itu. Abdullah cepat membalasnya dengan anak panah yang di racuni dengan bisa ular yang ia kumpulkan setiap kali bertemu dengan mahluk yang bertubuk lues itu. Entah di sebelah mana pelor itu mengeram di tubuh ini. Tapi entah mengapa yang aku lihat hanyalah wajah mereah mereka yang sepertinya minta di bebeskan dari busuknya hati dan jiwa mereka sendiri. Dan dengan senang hati aku akan memenuhi permintan itu.
Dengan jumlah yang lebih sedikit dan makin sedikit kami masih saja melakukan paerlawanan yang harus memberikan arti bagi orang lain di belakang kami. Perlawanan yang di dasari atas rasa cinta pada tanah air, dan juga rasa cinta pada sesama serta rasa cinta pada kebenaran.
Untuk yang kedua kalinya serdadu ini menusukku dari belakang, rasanya seperti di kuliti saja. Dengan senapan di tangannya yang hendak menembakkan pelornya tepat di jantung atau hatiku, kutancapkan saja keris panjang yang di berikan bapakku ketika aku masih anak kecil dulu. Kali ini tidak lagi ke bagian parut atau dada, Semarang kerisku meminta manisnya darah di leher penjajah muda ini. Dan tentu saja permintaannya aku kabulkan. Walau tanpa sadar sebuah peluru menembus jantungku secepat kilat di langit yang mulai menurunkan rintik hujannya.
Panas yang terasa pada tembakan pertama tadi rasanya tiba-tiba berganti dengan dingin yang entah datang dari mana. Bukan layaknya dingin yang membekukan, dinginnya membuatku tenang dan nyaman. Jantungku sudah berhenti memompa darah sejenak tadi. Nafasku serasa sependek rumput alas tidurku kini. Mataku melihat para tetua kampung, bapak dan mamak, adik sahid, amir kawan dekatku, fitri dengan senyum dan belati di tangan yang tergegenggam kuat, juga kawan-kawan yang lain tadi bersamaku, serta orang-orang kampung yang tersenyum ramah. Semua orang yang ku kenal ada di situ, seperti menantiku untuk pergi bersama.
Tanpa beban aku mengulurkan tangan yang langsung di sambut oleh semua orang. Tanpak olehku desa Salam yang sudah rata dengan rumput yang meng abu di kejauhan dengan seseorang yang menagisinya.
“Barto…” teriakku dari sini “jangan tangisi kami lagi, bangunlah kembali apa yang sudah mereka hancurkan. Dan ceritakan pada anak-anakmu kisah ini. Dengan SALAM untuk SALAM.
***
Salam negri pijak kaki kami
Salam dalam genggam jemari kami
Salam hari kemudin kami
Salam untuk salam

Jika kami mati nanti
Jika hari tenggelam esok
Atau bumi berhenti berlari
Kami mau kau tetap disini

Menjadi saksi tuhan yang satu
Dalam ucapan pernyataan
Mengangkat kami menuju ridho abadi

Ciputat- kamis, 26 April 2007
foot:
[1] Senapan dan meriam.
[2] Awas…

Episode

Senantiasa bersama membuat kita semakin lupa bahwa kita bukan satu. Jika saja kita perlu tau untuk apa kita bersatu, dan apa bedanya jika kita tetap bersama. Perlahan segalanya berakhir tanpa harus di akhiri.

***

Dika, seorang anak muda yang kesepian ditengah keramaian yang berkenyamuk. Mungkin di luar sana semua tak seburuk yang ia bayangkan. Semuanya terdengar begitu menakutkan, bahkan untuk menutup telinga saja ia butuh empat tangan yang tiap tangannya berjari 2x lipat dari jumlah manusia normal. Dan di tambah dengan bantuan bantal yang di akhiri dengan kuncian pintu yang takmungkit terbuka jika tidak di di dobrak.
Dika, entah seberapa dalam ketakutan yang ia alami dalam 12 jam terakhir, ia ada dalam situasi yang memaksanya untuk berpura-pura tidur. Bahkan rasanya ia ingin pura-pura mati. Untuk apa bersama jika hanya kesendirian yang ia rasa. Dunianya yang hiruk dengan teriakan dan tangisan yang sendu, dan harus memilih antara berteriak dan menangis, hingga keduanya mati.

***
Perbuatan mereka membuatnya semakin tak bisa berfikir. Akhirnya ia menjadikan mimpi-mimpi sebagai kereta masa, untuk membantunya melompati tiap saat riuh yang ia takuti. Ia tak pernah takut pada gelapnya kamar tidur, bukan juga pada sepinya malam, bahkan ia menikmatinya. Ia hanya takut pada sebuh pilihan, sebuah hal yang pasti ia temui dalam tiap langkah kehidupan, bahkan tiap detiknya.
Jika saja Dika harus memilih makanan mana yang ia akan santap lebih dahulu, dia akan memikirkannya untuk saat yang lama. Jika Dika harus memilih minuman mana yang lebih dulu untuk ia minum. Mungkin hanya ada satu jawaban untuk itu, dan kamu dapat memastikannya.
Ia perlu sebuah rumah sakit yang super canggih agar bisa memberinya terapi untuk kesembukan diri dalam akalnya, hatinya, jiwanya, dan raganya.
Atau sebuah tempat untuk bercerita tentang kegilaannya.
Dan ditmbah dengan seorang ahli yang sanggup mengubah kehidupannya.
***

Sebuah AGAMA menyadarkannya dari kepura-puraannya selama ini.
Dika menghampirinya dengan hati-hati, Agama yang sudah di perkenalkan dan ia lihat dalam keseharian yang lama. Buakan sejenak dia berfikir untuk menyelam dalam samudra yang sejernih mutiara liar, secerah cahaya murni, sedalam langit dan seisinya, sesempurna ikatannya, secanggih keteraturan, yang tak sebanding dengan kata-kata. Walaupun dengan kata-kata itu ia dapat mengerti inti darinya, dan tujuannya. Di dalamnya ia dapat belajar memilih dan menjadi orang terpilih untuk memilih. Bukan berlari atau berpura-pura mati, bisu, buta dan tuli.
”Hidupku akan selamanya dalam keabadian, kehidupanku cukup sampai disini saja.”