09 June 2007

TENTANG ALAM, KITA, DAN SEMUA

Kenapa hidup harus berubah? Kenapa perubahan itu keharusan, jika perubahan itu merubah segalanya. Asa, rasa, dan suasana. Menjadi asing bagiku. Ditambah perubahan perubahan yang membuatku mual. Perasan seperti di aduk-aduk. Masihkah aku melangkahi perjalanan ini? "Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum tersebut tidak mau dan jauh dari perubahan." Kata temanku, Bumi. Aku membenarkan perkataannya. Dan memeng merupakan sunatullah yang sudah ditetapkan. Tapi perubaha ini membuatku tak betah berlama-lama di persinggahan ku ini. Jikalau bukan karena kewajiban seorang muslim, tentu aku akan pulang ke tempatku dilahirkan. Dimana kutemukan pipit yang gagah mengarungi hari. desiran bayu yang melembut. Dedaunan yang selalu berfotosintesia menyebarkan kehidupan pada alam. "Lalu kenapa hidup ini berkoloni. Bukankah kebanyakan shalat dikerjakan sendiri-sendiri." Tanyaku pada bumi. Ia tersenyum menimpali pertanyaanku. "Karena itu tabiat asal. Bukankah adam kesepian tanpa hawa? Walau, melimpah ruah kekayaan di sekitarnya." "Tapi, kenapa aku tetap menyendiri? Mana, dimana koloniku?" "Kau terlalu menutup diri. Menghitung berkepanjangan. tak ada yang pas dalam hidup ini, jika kesempurnaan yang kau cari. Mesti ada celah dalam rerapatan. Jika tidak, ia akan binasa." Ucapnya tenang. Aku tertunduk. 'Mungkin aku begitu,' bisikku dalam hati membenarkan perkataanya. Aku tertutup. Tiada celah bagi orang lain di hatiku. Aku akan mati. Hidupku datar. Perlahan Bumi menarik tanganku. Memasuki gerbang baru dalam hidupku. Kubacatulisan besar di gapura itu. 'PERUBAHAN'. "Selamat datang sahabat. Baharuilah kehidupanmu. Hakikat hidup, inilah sebenarnya. Merangkak menaiki tangga demi tangga." Kata Bumi saat aku memasuki dunia baru itu. Bumi memelukku erat. Ada rasa dihati. Menetes perlahan mengalir di kedua lembah dibawah mataku. Perubahan.
@ @ @
Hari-hari membunga. Sejuta mawar, melati melantunkan keharumannya diantara rerapatan udara. Ku temukan alam di belantara kota. Diantara julangan dan rapatnya bangunan. Ada semilir kesejukan saat mentari menggarang sangat. Tak silau pantulan mentari dari kaca. Hakikatnya ia adalah di atas kita. Semuanya berjalan sesuai perubahan. Aku banyak belajar. Mengenal diri, mengenal kawan, mengenal Ilahi. Semua terasa berubah tanpa menghilangkan fitrah. Ku ubah tulisan dalam pikiranku tentang semua ini. "Aku ingin lebih lama disini, menata lama di tengah kota bersama saudaraku." Bumi mengenalkan pada semuanya. Tentang keadilan dan kesejahteraan. "Kita butuh pengorganisasian yang telah di syariatkan. Kita bersaudara semestinya bersatu. Mengembalikan kejayaan ynag tertidur dulu. Membangunkannya untuj merahmati semesta alam." Kata-kata bumi memotivasiku. Kutahu misi dan visi. "Jalan ini kami rintis demi kesemestaan yang adil. karena adil itu dekat dengan taqwa. Semua ini hanyalah tunggangan belaka. Jika tunggangan ini lalai kami tinggalkan." Aku tersenyum mentap. ini adalah koloniku. Berhari-hari dan berbulan-bulan. Perubahan adalah keniscayaan. Dan kenyataan adalah sesuatau yang harus diterima. Bumiku terbaring lemah. "Saudaraku, jangan kau tanguisi perubahan ini. Perubahaan ini adalah keharusan. Tetaplah berjuang." Hari itu tak ku sangka, dimana hari-hari kerinduan akan ku alami lagi. Hari itu langit mengelabu, pudar warna birunya. Langit ditutupi awan berwarna seperti warna langitnya. Dan tak kusadari Bumi telah berubah menjadi sangat pendiam. Hanya senyuman terakhir terukir di bibirnya. Mengantarkan ia ke gerbang perubaha yang selanjutnya.
@ @ @
Musim kemarau ini benar-benar berbeda. Semenjak ku dengar Organisasiku melejit luas. Melahirkan banyak kader yang menyeruak. Hingga dipelosok desa manapun ada kader kami. Menyerukan kebenaran. Tapi, tetap saja perubahan terus berjalan, menyebarkan warnanya ke setiap apa-apa yang ia jumpai. Tepatnya saat reka-rekan Bumi memberitahuku sesuatu hal. "Saudaraku, tonggak kepemimpinan tengah bergejolak. Ini kesempatan kita menegakkan khilafah. Mengembalikan Rahmatan untuk seluruh alam. Ku pohon bantuanmu." Kusambut uluran tangan itu dengan suka cita. dan ini harus aku penuhi dari sahabatku, Bumi. Perubahan suatu keharusan. Terkadang apa yang dipikirkan tak sejalan dengan kenyataan. Pasti banyak halangan dalam perjalanan. Dan haris ada perseteruan dalam bermasyarakat. "Akhi, sebaimya kita hentikan sejenak. Panggilan Tuhan telah diperdengarkan." Ujarku lembut, saat ku dengar Adzan mengalun. "Akhi, waktu kita sebentar lagi. Dan permasalahan ini pun selesai dalam beberapa menit lagi." Aku terkejut mendengarnya. Kulipat semua keinginan itu semua. Semuanya sedang berubah sesuai dengan apa yangmereka inginkan. Lama panggilan itu berlalu, tapi tetap saja kami dalam urusan dunia. Hentaka di adrenalinku bergemuruh menepis kelanjutan ini. tapi mereka tetap berkomentar,"Demi dakwah dan harakah. Kita harus menyisihkan sebagian beser waktu kita, akhi."Aku semakin tudak betah berlama-lama lagi. biar apa yang ada dalam pikiran mereka, aku acuhkan. detik itu pun aku beranjak, mendahulukan kecintaan padaNYA. Dalam kekhusuan itupun, kerinduanku dulu berkelebat. Wajah Bumi yang dulu pernah ada disisi, kembali membayang. "Wahai Bumi, aku jenih dengan kehidupan dunia ini. Ingin rasanya aku mempercepat waktuku. Tapi, aku ingin sekali bertemu denganNYA." Kataku dulu, saat ia masih ada. "Hendaklah kau berjihad, saudaraku. Ingat amalam apa yang bisa membawamu bertemu padaNYA." Jawab Bumi. Dan kini saat aku kesendirian, mencoba bertahan, dalam kondisi yang jauh sangat berubah. Kenangan akan keadaan desaku memanggil-manggil. Aku benar-benar tidak tahan dengan perubahan ini. Mereka terlalu bersemangat dalam merebut kekuasaan. Pengkaderan yang dielu-elukan tak lagi terdengar. Penjernihan hati dan pikiran yang dulu di kobarkan tak lagi bersinar. Ynag ada hanyalah pemisatan pada kekuasaan atas nama khilafah. Dimana kepatuhan pada Tuhan, saat panggilanNYA diperdengarkan? "sebaikanya aku menenangkandiri dulu, aku rundu desaku, ibu dan bapak." Besok pagi, akhirnya aku pulang.
@ @ @
Sebentar lagi kendaraan ini menepi. Dan kampung halamanku akan ku dapati. Sawah yang terhampar. Pipit ang gagah di setiap hari. Semilir angin yang berhembus. Bunyi serangga di pepohonan. Riuh sang belalang yang di halau petani. Semua itu akan kuraih lagi.Alam semesta. Ku jajaki jalanan ini, setelah turun dari kendaraan tadi. Tapi, semuanya menghilang. Ynag ada hanya padang ilalang di msi kemarau. Menerbangkan bunganya yang putih. Entah dimana bibitnya akan bersinggah. Sendiri terasing dari koloni. Aku bersimpuh tak jauh dari semua itu. mengapa desaku juga berubah. Aku ingin ke masa dulu. Dimana damai itu? Kenapa aku yang merasa tersendiri? Apa karena namaku awan? Mungkin saja, karena tanpa koloni sejenisnya, ia tak akan menurunkan hujan. Di musim kemarau ini, aku banyak mengalami kehilangan. Kenapa harus ada perubahan? Dan sekarang semuanya mati dan akupun telah mati, jauh setelah Bumi mati. Aku hanyalah awan yang rapuh terhempas angin. Seperti bunga ilalang itu. Tak tahu dimana hendak berlabuh. Ku ingat perkataan Bumi. "Tahukah kalian, kehidupan ini tak pernah sama." Aku masih tetap bersimpuh. Mencoba bertahan dalam perubahan ini. Aku juga akan berubah, mungkin. "Bumi, andai tiadakau,tiada pula awan. Dan jika semua ini tidak ada dimanakah alam?" Aku bertanya dan terus bertanya. Entah siapa yang mampu menjawab pertanyaanku. Atau mungkin akan terlupa begitu saja. Seperti halnya orang-orang tak peduli terhadap awan. Aku bangkit, berjalan pulang mencari damai yang hilang. Jalanan di depan ini sepi. "Bumi, aku tersendiri lagi..."
@ @ @
Jakarta,09 06 2007
---------------------------------
Pinpoint customers who are looking for what you sell.