20 April 2008

Halo...

Halo teman-teman semua. sudah lama neh blog kita gak pernah di isi lagi.


Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

08 July 2007

INTIFADHOHKU... TERLUKA

kulihat segulat kesedihan diwajahnya. matanya memangdang lurus ke depan. mukanya kaku. perlahan, seuntai tetesan bening mengalir dari kelopak bawah matanya. lama kemudian, tubuhnya berguncang. isak demi isak mulai bernyanyi. melantunkan nada khasnya.
aku tak tega membiarkan ia sendiri. tak pantas,jika aku hanya berdiam diri. perlahan ku hampiri ia.
kutepuk pundaknya pelan dan tanganku bertengger lama di pundaknya. ia menoleh perlahan. pandangan matanya menghujam hatiku. adaperasaan iba padanya.
aku kaget saat ia telah bangkit dari duduknya. ia kini mengegegam erat tanganku. mutiara dari matnya semakin deras di hasilkan. bibirnya milai bergerak-gerak. sesekali ia menggigit bibirnya. sedalam itukah kepedihan yang menimoanya?
"aduh...!" aku menjerit kecil saat ia memelukku tiba-tiba. hampir saja aku tidak bisa bernapas. ia memelukku dengan sangat. lalu, tangisnya pecah.
lama aku terheran-heran, perlahan ku usap punggungnya. mencoba mengambil sedikit beban perasan yang tengah ia hadapi.
"mereka menyakitiku lagi, saudaraku..."katanya di sela-sela isak tangisnya.
"lagi...?" aku bertany, kurang paham dengan perkataannya tadi.
"tak tahu berapa kali mereka berbuat begitu!"jawabnya.
"beberapa kali? maksudmu...?"
"ya... sudah lama mereka terus-menerus berbuat begitu. aku tak mampu menahanya..." ia melepaskan pelukannya . tapi, aliran di matanya masih basah.
"jadi, janji-janji mereka itu..."
dia tertunduk. tangisnya pecah lagi. aku peluk ia kembali. ada rasa yang sesak, bercampur marah dan sedih. apalagi dulu pendahuluku menitipkan ia padaku. dan saat waktunya dia kutitipkan pada mereka...? sungguh... tak akan aku maafkan.
@ @ @
"janji..?! kalian akan menjaganya?" tanyaku pada mereka dulu. saat pelantikan angkatan pertama, yaitu mereka.
diam. hanya itu yang mereka bisa lakukan.
"kami agak sedikit ragu, kak!" jawab sang ketu diantara mereka.
"ragu kenapa? apa sebab begitu?" tanya ku sambil mengililingi mereka.
"kesatuan" jawab salah seorang diantara mereka. yang memiliki perawakan yang cukup tinggi untuk seorang lelaki. yang kini ia menjabat sebagai seorang wakil ketua. sorot matanya tajam. dan mulutnya yang tadi berucap kini tertutup rapat,kemudian tersenyum tipis saat ku pandangi wajahnya. namanya birin.
"apa sebab jawabanmu demikian, birirn...?"
semua orang memandangnya. tatapan mereka membuatku sedikit kaget. suasana pagi hari ini menjadi panas. bahkan, mengalahkan mentari yang kini bersembunyi di balik awan.
"hhmm..., sebab kekeringan dalam ukhuwah." jawabnya mantap sambil menyeringai.
"iya, kak. itu yang terjadi pada kami" sambung ogi sang ketua. ia tertunduk seolah ada beban perasaan yang sangat berat.
ku tepuk pundaknya dan sedikit ku remas. senyuman ku ukir di bibirku dan ku berikan padanya.
"percaya diri, berpikir positif, maka lingkungan akan mempositifkan kamu. itu kuncinya"aku memberi solusi padanya. dan aku tersenyam kembali untuknya.
ia membalas senyumanku. bibirnya ia tarik datar dan kering. setelah itu ia memperlihatkan giginya. seolah ada ragu yang ingin ia katakan.
"insya Allah. tapi, saya kurang yakin." jawabnya kemudian
"pasti bisa, ada yang lain di belakangmu. tabah dan sabar."kataku terakhir.
ku tatap mereka semua. dan ku tatap pula dia, yang dulu pemulaku, menitipkan ia padaku. ku peluk ia erat-erat.
"saudaraku, ku titipkan engkau pada mereka. berbahagialah. anyak yang akan merawatmu." kataku padanya. ia mengangguk.
mobil perpisahan telah datang, aku menaikinya. lalu mobil pun melaju. lambaian tanganku memutuskan pita penghalang. ada sesuatu yang jatuh dari mataku. perlahan dan kemudian menderas. pandabgan mataku kabur-kaburan. ada rasa di hati. tapi, inilah hidup. perjalanan panjang.
@ @ @
"kini semuanya berakhir, saudaraku. tapi, ada harapan saat kau jawab panggilanku."ia menyadarkanku dari lamunanku.ia mengajakku dudk di tempat ia termangu tadi. kemidian, ia menatapku tajam.
"kemana saja kau selama ini? mengapa klau tak memberi kabar, seperti apa yang kau janjikan dulu?"tanyanya.
aku terkujut. ku tatap matanya yang penuh dengan pertanyaan. tak sampaikah kabarku padanya? mustahil. bisik hatiku.
"oh ya? aku sudah berkali-kali kirimi kau kabar tentang ku. tapi, kau yang tak membalasnya." jawabku
"berkali-kali? satupun aku tak pernah baca. apalagi mendengar dari mereka kabar datangnya suratmu."
"benarkah?!" dia mengangguk mantap. "kurang ajar! ini tidak bisa di maafkan." aku menjadi geram terhadap mereka. apa itu yang dulu mereka katakan ragu?
kulihat mereka yang kini tengah mendidik angkatan baru, penerus pengasuh bia, yang kini duduk bersamaku.
sungguh beda, apa yang dulu aku ajarkan pada mereka, dengan apa yang mereka ajarkan pada didikan mereka. menyimpang jauh.
perlahan ogi dan birin mendekatiku. kupandangi mereka berdua. mereka tertunduk, entah malu atu merasa bersalah.
"maafkan kami, kak" ogi dan birin memelukku tiba-tiba, saat aku berdiri untuk bercakap-cakap dengan mereka.
"maafkan kami yang tidak bisa membimbing mereka dalam mengasuh dia." birin ikut berbicara.
isak tangis terdengar dai mereka berdua. tubuhku ikut bergetar karena goncangan mereka. betapa dahsyatnya ragu mereka!
kulepaskan pelukan mereka. kutatap satu persatu dan mereka masih tertunduk.
"sudah saya coba berkata dari hati ke hati. tapi, saran dab solusi yang saya ketengahkan pada mereka di tolak habis-habisan. malah mereka menerorku dan mengucilkanku"kata birin saat sudah berhenti tangisannya.
"kenapa tak kau adukan padaku?"
"saya bingung,kak. saya merasa sangat tertekan. tidak tahu kemana saya berkeluh kesah."
"apa saja yang membuat dia,intifadhohku, rohisku terluka?"
"munakahat, bercanda terlalu akrab seolahhijab yang di pakai akhwat tidak pernah ada. bercanda sambil memukul lengan atau apa saja. jauh dari dulu ketika kakak ada."
aku menyengrikan dahiku. pantas di seberang sana aku tidak tenang. selalu memikirkan mereka. pantas suratku tak pernah berbalas.
dan kenyataan pun hadir dengan penuh kesadaran. kulihat pemandanganyang sungguh menyesakkan.ada yang sengaja meminta di foto berdekatan. dan yang lebih parah, ada yang berboncengan naik motor, ikhwan akhwat. harus bagaimana aku bertindak?
bertambah geram terus diri ini. bagaimana tidak. saat suara akhwatnya di lantangkan.
"terserah kakak, mau diapakan mereka sekarang. jadwal kegiatan sedang kosong."kata ogi seolah mengkompori aku.
"baik, memang sudah tidak bisa didiamkan lagi."
kutatap intifadhohku yang kutitipkan pada mereka. harus dengan tangan ini aku menyembuhkan saudaraku itu. aku harus segera bertindak.lalu ku sambar megaphone yang ada di atas meja.
"panitiaa... kumpul...!!!" teriakku dari megaphone di tengah lapangan. mereka terpogoh-pogoh menghampiriku. mungkin mereka berrtanya kenapa aku menyuruh mereka berkumpul.
dan saat mereka sudah berkumpul, harus benar-benar ku tumpahkan kekesalanku. demi intifadhohku, rohisku. agar ia tidak terluka lagi.
@ @ @

SAJAK-SAJAK - NYANYIAN KERINDUAN

KENANGAN
Jakarta, 9 Maret 2007

Bayangan berjalan seiring
ketika semuanya datang
pandang dan tatap yang sering
menyapa bagian dalam jiwa
menyisir lorong rasa
menggapai angan dulu
perlahan bercerita
tentang teman dan pemandangan
tak nyata itu
menyusup angan dan pikir
mengelabu dalam kalbu
seiring desiran bayu masa lalu
mengawan di hati
turun menetes asa duka
persahabatan dan pertemanan
cinta dan kasih pembinaan
dulu...
kelak ku tatap langit rabithahku
menyusupkan bintang wajah mereka
menyala terikat sinar hakiki
berharap pertemuan di syurga
merentas jalan yang pantas
tak pintas

MENGIRI RINDU
Jakarta, 9 Maret 2007

perasaan yang di rindukan
tentang tanah dan arah mata angin
menyusuri kedamaian itu
saat dia masih memintal
napasnya, saat ia tersenyum
teman dan sahabatnya berkeliling
dan, perlombaan mereka
saat perkatan mu yang
jernih, menghiasi pikiran mereka
keunikan yang mengalun

kadang arsyNYA berguncang
saat DIA berbicara tanpa penerjemah
dan lautan pengampunan menerpa
cinta dan dicinta
kedermawanan dan istana putih di syurga

adil, kenapa kau tak menyentuh
mengapa ku tak hidup bersamanya
kedamaian yang kucari disini
tersesat di rimba yang antah berantah
dan tak berujung

hanya gigitan ujung bibir
membayangkan kau dan sahabatmu
bercebgkrama dan membina
tetesan iri dari mataku
tapi, aku sadar unik diri yang
hina. kemunapikanku
tak mampu dan tak akan menjelma
itu semua

lalu perkenenkanlah aku denganku
agar unikku seperti mereka

TERKOYAK RINDU
Jakarta, 03 April 2007
saat malam makin mengelam

telah berlalu keseriusan
luruh dalam kesibukan
Rabb berpaling dalam kedukaan
kelakuan, dan azam ternistakan

kelelahan ynag meradang
seolah kenangan membayang
hanya sesuatu itu yang
tak kumengerti, kenapa?
padahal mampu selama ini ku jaga
agar tetap bersama raga
berjalan dengan arah jalan

kini saat waktu berkata
tepat, saat hampa tertawa
sesuatu itu menangis, menangisi kesendirian
yang ku bunuh
padahal kehidupan ada di sana
lalu luruh dalam gemuruh dunia
menyalak napsu dunia
merauh kerinduan yang terluka

kini saat serpihan itu menyerpih lagi
tepatnya ku tak mampu merakitnya
terlampau menjadi partikel
saat itu kemana sadar diri?

kini dan hanya kini
ku tangisi rinduku...
rindu adakah kau kan kembali
mengisi ruang hati

dan saat itu Rabbku
menertawakan angkuhku...


RINDU YANG HILANG
Jakarta, 05 April 2007

jalanan yang dilalaui
berhaluan dua ciri
kehampaan dan cahaya yang menyinari
sama berbanding, seri
kegelapan dan cahaya putih
antara kematian dan kehidupan
di bentangkan di depan diri
memilih kemanakan meniti jalan

kulihat namaNYA tersebar di langit
berkerlip dipadu keharuman
alam semesta
dan ku toleh sebelah kiri
kuburan ynag berlagak
kata dan perbuatannya
menjemukan diri
kucaci dan ku kritiki semua itu
terus menerus hingga tiba
diantara dua persimpangan
kegelapan yang sama. Tapi, sadar
merayapi sunyi ku terbuai
melembai jauh dari diri
menelan diri dalam kegelapan
sadar ku akan teberan namaNYA
ku ingin pulang... sungguh ingin
ku tersesat diantara kuburan dunia
tak tahu jalan cahaya
semuanya menggelap raksasa
jauh diri ini menyapa
kasadaran jiwa yang terjaga
sungguh dalam diamku, berkata
RABB... Aku ingin pulang...

09 June 2007

TENTANG ALAM, KITA, DAN SEMUA

Kenapa hidup harus berubah? Kenapa perubahan itu keharusan, jika perubahan itu merubah segalanya. Asa, rasa, dan suasana. Menjadi asing bagiku. Ditambah perubahan perubahan yang membuatku mual. Perasan seperti di aduk-aduk. Masihkah aku melangkahi perjalanan ini? "Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum tersebut tidak mau dan jauh dari perubahan." Kata temanku, Bumi. Aku membenarkan perkataannya. Dan memeng merupakan sunatullah yang sudah ditetapkan. Tapi perubaha ini membuatku tak betah berlama-lama di persinggahan ku ini. Jikalau bukan karena kewajiban seorang muslim, tentu aku akan pulang ke tempatku dilahirkan. Dimana kutemukan pipit yang gagah mengarungi hari. desiran bayu yang melembut. Dedaunan yang selalu berfotosintesia menyebarkan kehidupan pada alam. "Lalu kenapa hidup ini berkoloni. Bukankah kebanyakan shalat dikerjakan sendiri-sendiri." Tanyaku pada bumi. Ia tersenyum menimpali pertanyaanku. "Karena itu tabiat asal. Bukankah adam kesepian tanpa hawa? Walau, melimpah ruah kekayaan di sekitarnya." "Tapi, kenapa aku tetap menyendiri? Mana, dimana koloniku?" "Kau terlalu menutup diri. Menghitung berkepanjangan. tak ada yang pas dalam hidup ini, jika kesempurnaan yang kau cari. Mesti ada celah dalam rerapatan. Jika tidak, ia akan binasa." Ucapnya tenang. Aku tertunduk. 'Mungkin aku begitu,' bisikku dalam hati membenarkan perkataanya. Aku tertutup. Tiada celah bagi orang lain di hatiku. Aku akan mati. Hidupku datar. Perlahan Bumi menarik tanganku. Memasuki gerbang baru dalam hidupku. Kubacatulisan besar di gapura itu. 'PERUBAHAN'. "Selamat datang sahabat. Baharuilah kehidupanmu. Hakikat hidup, inilah sebenarnya. Merangkak menaiki tangga demi tangga." Kata Bumi saat aku memasuki dunia baru itu. Bumi memelukku erat. Ada rasa dihati. Menetes perlahan mengalir di kedua lembah dibawah mataku. Perubahan.
@ @ @
Hari-hari membunga. Sejuta mawar, melati melantunkan keharumannya diantara rerapatan udara. Ku temukan alam di belantara kota. Diantara julangan dan rapatnya bangunan. Ada semilir kesejukan saat mentari menggarang sangat. Tak silau pantulan mentari dari kaca. Hakikatnya ia adalah di atas kita. Semuanya berjalan sesuai perubahan. Aku banyak belajar. Mengenal diri, mengenal kawan, mengenal Ilahi. Semua terasa berubah tanpa menghilangkan fitrah. Ku ubah tulisan dalam pikiranku tentang semua ini. "Aku ingin lebih lama disini, menata lama di tengah kota bersama saudaraku." Bumi mengenalkan pada semuanya. Tentang keadilan dan kesejahteraan. "Kita butuh pengorganisasian yang telah di syariatkan. Kita bersaudara semestinya bersatu. Mengembalikan kejayaan ynag tertidur dulu. Membangunkannya untuj merahmati semesta alam." Kata-kata bumi memotivasiku. Kutahu misi dan visi. "Jalan ini kami rintis demi kesemestaan yang adil. karena adil itu dekat dengan taqwa. Semua ini hanyalah tunggangan belaka. Jika tunggangan ini lalai kami tinggalkan." Aku tersenyum mentap. ini adalah koloniku. Berhari-hari dan berbulan-bulan. Perubahan adalah keniscayaan. Dan kenyataan adalah sesuatau yang harus diterima. Bumiku terbaring lemah. "Saudaraku, jangan kau tanguisi perubahan ini. Perubahaan ini adalah keharusan. Tetaplah berjuang." Hari itu tak ku sangka, dimana hari-hari kerinduan akan ku alami lagi. Hari itu langit mengelabu, pudar warna birunya. Langit ditutupi awan berwarna seperti warna langitnya. Dan tak kusadari Bumi telah berubah menjadi sangat pendiam. Hanya senyuman terakhir terukir di bibirnya. Mengantarkan ia ke gerbang perubaha yang selanjutnya.
@ @ @
Musim kemarau ini benar-benar berbeda. Semenjak ku dengar Organisasiku melejit luas. Melahirkan banyak kader yang menyeruak. Hingga dipelosok desa manapun ada kader kami. Menyerukan kebenaran. Tapi, tetap saja perubahan terus berjalan, menyebarkan warnanya ke setiap apa-apa yang ia jumpai. Tepatnya saat reka-rekan Bumi memberitahuku sesuatu hal. "Saudaraku, tonggak kepemimpinan tengah bergejolak. Ini kesempatan kita menegakkan khilafah. Mengembalikan Rahmatan untuk seluruh alam. Ku pohon bantuanmu." Kusambut uluran tangan itu dengan suka cita. dan ini harus aku penuhi dari sahabatku, Bumi. Perubahan suatu keharusan. Terkadang apa yang dipikirkan tak sejalan dengan kenyataan. Pasti banyak halangan dalam perjalanan. Dan haris ada perseteruan dalam bermasyarakat. "Akhi, sebaimya kita hentikan sejenak. Panggilan Tuhan telah diperdengarkan." Ujarku lembut, saat ku dengar Adzan mengalun. "Akhi, waktu kita sebentar lagi. Dan permasalahan ini pun selesai dalam beberapa menit lagi." Aku terkejut mendengarnya. Kulipat semua keinginan itu semua. Semuanya sedang berubah sesuai dengan apa yangmereka inginkan. Lama panggilan itu berlalu, tapi tetap saja kami dalam urusan dunia. Hentaka di adrenalinku bergemuruh menepis kelanjutan ini. tapi mereka tetap berkomentar,"Demi dakwah dan harakah. Kita harus menyisihkan sebagian beser waktu kita, akhi."Aku semakin tudak betah berlama-lama lagi. biar apa yang ada dalam pikiran mereka, aku acuhkan. detik itu pun aku beranjak, mendahulukan kecintaan padaNYA. Dalam kekhusuan itupun, kerinduanku dulu berkelebat. Wajah Bumi yang dulu pernah ada disisi, kembali membayang. "Wahai Bumi, aku jenih dengan kehidupan dunia ini. Ingin rasanya aku mempercepat waktuku. Tapi, aku ingin sekali bertemu denganNYA." Kataku dulu, saat ia masih ada. "Hendaklah kau berjihad, saudaraku. Ingat amalam apa yang bisa membawamu bertemu padaNYA." Jawab Bumi. Dan kini saat aku kesendirian, mencoba bertahan, dalam kondisi yang jauh sangat berubah. Kenangan akan keadaan desaku memanggil-manggil. Aku benar-benar tidak tahan dengan perubahan ini. Mereka terlalu bersemangat dalam merebut kekuasaan. Pengkaderan yang dielu-elukan tak lagi terdengar. Penjernihan hati dan pikiran yang dulu di kobarkan tak lagi bersinar. Ynag ada hanyalah pemisatan pada kekuasaan atas nama khilafah. Dimana kepatuhan pada Tuhan, saat panggilanNYA diperdengarkan? "sebaikanya aku menenangkandiri dulu, aku rundu desaku, ibu dan bapak." Besok pagi, akhirnya aku pulang.
@ @ @
Sebentar lagi kendaraan ini menepi. Dan kampung halamanku akan ku dapati. Sawah yang terhampar. Pipit ang gagah di setiap hari. Semilir angin yang berhembus. Bunyi serangga di pepohonan. Riuh sang belalang yang di halau petani. Semua itu akan kuraih lagi.Alam semesta. Ku jajaki jalanan ini, setelah turun dari kendaraan tadi. Tapi, semuanya menghilang. Ynag ada hanya padang ilalang di msi kemarau. Menerbangkan bunganya yang putih. Entah dimana bibitnya akan bersinggah. Sendiri terasing dari koloni. Aku bersimpuh tak jauh dari semua itu. mengapa desaku juga berubah. Aku ingin ke masa dulu. Dimana damai itu? Kenapa aku yang merasa tersendiri? Apa karena namaku awan? Mungkin saja, karena tanpa koloni sejenisnya, ia tak akan menurunkan hujan. Di musim kemarau ini, aku banyak mengalami kehilangan. Kenapa harus ada perubahan? Dan sekarang semuanya mati dan akupun telah mati, jauh setelah Bumi mati. Aku hanyalah awan yang rapuh terhempas angin. Seperti bunga ilalang itu. Tak tahu dimana hendak berlabuh. Ku ingat perkataan Bumi. "Tahukah kalian, kehidupan ini tak pernah sama." Aku masih tetap bersimpuh. Mencoba bertahan dalam perubahan ini. Aku juga akan berubah, mungkin. "Bumi, andai tiadakau,tiada pula awan. Dan jika semua ini tidak ada dimanakah alam?" Aku bertanya dan terus bertanya. Entah siapa yang mampu menjawab pertanyaanku. Atau mungkin akan terlupa begitu saja. Seperti halnya orang-orang tak peduli terhadap awan. Aku bangkit, berjalan pulang mencari damai yang hilang. Jalanan di depan ini sepi. "Bumi, aku tersendiri lagi..."
@ @ @
Jakarta,09 06 2007
---------------------------------
Pinpoint customers who are looking for what you sell.

10 May 2007

SALAM untuk SALAM

Jalan desa kampung Salam, pelabuhan Alaji. Pertempuran semakin sengit, barisan blokade yang kami buat ternyata cukup memberi arti. Mungkin tempat yag kami sebut benteng ini tidak akan bertahan lama, tapi jika kami dapat bertahan beberapa hari lagi mungkin keadaan akan jauh lebih baik.
Di belakang kami para tetua adat dan masyarakat sedang mempersiapkan pasukan yang akan menyerang orang berhidung sampan terbalik itu beberapa hari lagi. Aku ingat Amir yang dari seminggu lalu sudah berlatih melakukan gerak serang dalam air di anak sungai kampong Salam. Bersama beberapa puluh orang pemuda lain yang terpilih menjadi pasukan inti. Dan kami yakin bahwa yang kami lakukan tidak akan sia-sia, karna kami punya sebuah senjata yang tidk mungkin di miliki oleh orang-orang berkulit aneh dan bau itu. Kami memiliki Tekad dan Iman yang tidak dapat mereka beli.
***
Aku sendiri tidak terpilih dalam pasukan itu karna aku tak terlalu mahir bermain keris dan tombak di dalam air. Dan kini dengan beberapa kawanku aku menjadi pasukan pengacau bagi tentara berbaju kulit dan bertopi besi itu. Tugas kami mulai dari membuat parit dan lubang jebakan sampai harus jadi umpan untuk mengalihkan perhatian mereka agar tidak berkonsentrasi melakukan pembangunan marks mereka, karna jika markas mereka dapat di selesaikan cepat. Tentu akan sangat merepotkan. Bayang kan saja dengan senjata yang mereka sebut ”geweer” dan ”geschut”[1] itu kami hampir tidak memiliki kesempatan untuk mendekati mereka.
***
”Ji...,Aji,” teriak Barto dari belakang, ”ada apa” timpalku.
”Kita sudah kehabisan Katak buat makan besok, ini yang terakhir.” sambil berjalan mendekati teman-teman yang lain untuk membagikan makanan yang kami sebut katak.
”Ji..., sampai berapa lama lagi kita harus main sembunyi tikus dari kucing seperti ini?” gumamnya padaku sambil memberikan ku jatah makan yang tak seberapa banyaknya itu.
”Sabarlah To, mungkin akan ada yang akan mengantarkan kita makanan kesini, atau mungkin ada utusan yang akan memberitau kita bahwa tugas kita sudah berakhir, atau mungkin merekapun memang sedang sibuk dan sama kekurangannya seperti kita. Yang terpenting sekarang adalah kita harus tetap pada tujuan semula. Jangan sampai kita malah jadi berburuk sangka pada mereka apalagi sampai menuduh mereka yang tidak benar.”
Pagi ini kami mulai bersiap untuk melihat kadaan mereka para penjajah negri-negri. Kabarnya mereka sudah merhasil menguasai banyak negri, menundukkan banyak raja, membinasakan banyak nyawa, merampas banyak harta, mulai dari orang miskin sampai orang kaya. Bukan hanya itu mereka juga menculik banyak wanita dan anak-anak untuk di jadikan budak atau hanya untuk mereka permainkan sebagai pemuas hawa nafsu nya. Mungkin di dalam sana, di kapal-kapal mereka adikku masih hidup. Dari Barto aku tau jumlah mereka sekitar 800 orang. Dengan jumlah sebegitu besarnya dan dilengnkapi dengan senjata yang berbunyi nyaring itu, kampung kami dapat dengan mudah di taklukkan.
***
Kampung Salam yang terletak di pulau Salam ini memang bukan pulau yang begitu besar dan subur. Tapi menurut para tetua pulau kami ini sangat strategis untuk di jadikan markas karena memiliki tambang besi dan sumber ikan yang banyak. Hingga kini kampung salam yang berada di pulau salam ini sangat terkenal hasil besinnya. Begitu pula dengan pemudanya yang pandai memainkan senjata.
Kami menjual hasil kerajinan kami ke pasar di kota raja, sekitar setengah hari perjalanan dari si kampung kami denngan menggunakan sampan dan kapal dayung. Kami dikenal sebagai orang yang tidak suka berperang walaupun kami pandai bersilat dengan keris dan tombak. Itu karna kami tau diri, kami merupakan orang yang minoritas di sini jadi harus panddai untuk mengambil hati orang lain.
Kebanyakan dari kami adalah nelayan dan tukang besi. Pertanian desa kami hanya singkong dan pohon kelapa. Itupun hanya dapat mencukupi kebutuhan orang-orang kampung saja. Katak adalah makanan yang di buat dari kedua bahan tersebut.
***
Keadaan tiba tiba berubah menjadi begitu kacau, mereka menyerbu benteng kami dengan kekuatan penuh ketika kami sedang beristirahat pada malam hari. Kami fikir mereka akan mengkonsentrasikan kegiatan mereka pada pembangunan markas mereka hingga beberapa hari kedepan. Dan kami berencana menyerbu kapal-kapal mereka besok malam. Dan ternyata kami kalah cepat bergerak dengan mereka.
”To.., cepat beri kabar pada orang desa tentang hal ini, dan jangan lupa untuk mengirimkan bantuan ke sini. Sebaiknya penyerangan kapal di lakukan malam ini juga karna pasti mereka sedang mengkonsentrasikan kekuatannya di sini. Dan kamu sebaiknya tidak usah kembali, karna kamu harus menuntun mereka menuju kapal-kapal iblis merah aneh itu. Dan aku juga minta tolong padamu untuk meyampaikan salamku untuk Amir agar ia tidak lupa menyelamatkan adikku yang mungkin masih hidup di dalam sana. Dan titip ini untuk Fitri. Sebuah belati yang aku buat sendiri sepanjang satu jengkal, yang berukirkan ” jangan takut ” di gagangnya. ”
Cepat Barto menoleh pergi berlari di antara semak dan menoleh sejenak sambil berucap tanpa suara ”ALLAHU AKKBAR.” aku hampir tidak dapat melihat gerak bibirnya. Tapi aku bisa merasakan getar dan hangat yang sangat saat dia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya setinggi dada.
”Jaka, Dullah dan Arif kemari!” sahutku. ”kalian cepat naik ke atas pohon dan bersiap memanah barisan penembak mereka, dan jangan turun sampai mereka berada tepat di bawah kalian.”
”Yang lainnya...! cepat buat blokade di setiap pos kalian, dan jangan sampai kalian terlihat oleh lawan. Usahakan untuk tetap tenang dan seranglah sesuai dengan rencana yang telah kita sepakati. Ingatlah bahwa apapun yang terjadi dengan kita hari ini, ALLAH S.W.T maha mengnetahui amal hamba-hambanya. Tidaklah IA menurunkan suatu cobaan kepada umatnya, kecuali untuk memisahkan antara orang-orang yang ingkar dan yang benar-benar beriman. Dan bagaimanapun akhir dari seluruh pengorbanan ini, sungguh akan kitaserahkan seluruhnya pada Zat yang menguasai dunia dan akhirat. Apa kalian paham?” dengan berbisik aku mengkomando kawan-kawanku. Dan dengan serentak mereka menganggukkan kepala tanda kefahaman dan kebulatan tekat serta teguhnya imam yang kami miliki.
Tanpa di komando mereka segera bergerak teratur dan hampir tanpa suara. Semua telah megerti apa yang harus dilakukan.
Tentara belanda itu segera saja datang sambil mencoba mencium wangi raga kami yang terasa segar di hidung mereka. Bagi mereka setiap badan dan juga nyawa adalah mainan boneka yang siap di tembak dengan senapan, dan di kirim ke tempat pembuangngan untuk di kubur atau di tumpuk hingga membusuk. Agar jika ada orang yangmelihatnya akan merasa takut pada mereka. Juga dengan meriam yang mereka tarik itu seolah-olah mereka berteriak; ”Kalian hanya kecoa yang tidak akan mampu mendekati kami apalagi untuk mengotori seragam kami yang gagah ini.”
Tapi itu semua terlihat berbeda di mata kami. Setiap tubuk mereka adalah hadiyah yang sangat membangngakan untuk di terima dengan keris dan pedang, ataupun seperti harta yang halal untuk di rampas denngan tiap mata panah kami. Tapi diantara kami ada yang mengganggapnya seekor babi atau anjing na’jis yang siap menularkan penyakit dan kotoran yang sulit untuk di cari penawarnya sehingga harus segera di bunuh atau di usir. Tapi apapun anggapan aku dan kawan-kawan semua pada mereka, satu yang kami ingat adalah ”janganlah kalian memerangi suatu kaum sampai ia mengeluarkan kalian dari negri kalian,” serta ”berjihadlah kalian dengan harta kalian dan diri kalian dijalan Allah ...”
Sketika mereka terkejut dengan kehadiran anak panah kami yang langsung merampas kesadaran mereka, tepat di depan hidung paruh ayam mereka. Hanya dengan satu aba-aba dariku mereka langsung meresponnya dengan kelebat anak panah yang di susul dengan suara letusan senapan dan teriakan mereka. ”opletten..!”[2] teriak komandan mereka sebelum sebuah keris menghujam dadanya dan membuat sebuah ruang yang menganaga di jantung hitamnya. Begitu pula denganku yang langsung merasakan panasnnya timah dari serdadu-serdadu terkutuk itu. Abdullah cepat membalasnya dengan anak panah yang di racuni dengan bisa ular yang ia kumpulkan setiap kali bertemu dengan mahluk yang bertubuk lues itu. Entah di sebelah mana pelor itu mengeram di tubuh ini. Tapi entah mengapa yang aku lihat hanyalah wajah mereah mereka yang sepertinya minta di bebeskan dari busuknya hati dan jiwa mereka sendiri. Dan dengan senang hati aku akan memenuhi permintan itu.
Dengan jumlah yang lebih sedikit dan makin sedikit kami masih saja melakukan paerlawanan yang harus memberikan arti bagi orang lain di belakang kami. Perlawanan yang di dasari atas rasa cinta pada tanah air, dan juga rasa cinta pada sesama serta rasa cinta pada kebenaran.
Untuk yang kedua kalinya serdadu ini menusukku dari belakang, rasanya seperti di kuliti saja. Dengan senapan di tangannya yang hendak menembakkan pelornya tepat di jantung atau hatiku, kutancapkan saja keris panjang yang di berikan bapakku ketika aku masih anak kecil dulu. Kali ini tidak lagi ke bagian parut atau dada, Semarang kerisku meminta manisnya darah di leher penjajah muda ini. Dan tentu saja permintaannya aku kabulkan. Walau tanpa sadar sebuah peluru menembus jantungku secepat kilat di langit yang mulai menurunkan rintik hujannya.
Panas yang terasa pada tembakan pertama tadi rasanya tiba-tiba berganti dengan dingin yang entah datang dari mana. Bukan layaknya dingin yang membekukan, dinginnya membuatku tenang dan nyaman. Jantungku sudah berhenti memompa darah sejenak tadi. Nafasku serasa sependek rumput alas tidurku kini. Mataku melihat para tetua kampung, bapak dan mamak, adik sahid, amir kawan dekatku, fitri dengan senyum dan belati di tangan yang tergegenggam kuat, juga kawan-kawan yang lain tadi bersamaku, serta orang-orang kampung yang tersenyum ramah. Semua orang yang ku kenal ada di situ, seperti menantiku untuk pergi bersama.
Tanpa beban aku mengulurkan tangan yang langsung di sambut oleh semua orang. Tanpak olehku desa Salam yang sudah rata dengan rumput yang meng abu di kejauhan dengan seseorang yang menagisinya.
“Barto…” teriakku dari sini “jangan tangisi kami lagi, bangunlah kembali apa yang sudah mereka hancurkan. Dan ceritakan pada anak-anakmu kisah ini. Dengan SALAM untuk SALAM.
***
Salam negri pijak kaki kami
Salam dalam genggam jemari kami
Salam hari kemudin kami
Salam untuk salam

Jika kami mati nanti
Jika hari tenggelam esok
Atau bumi berhenti berlari
Kami mau kau tetap disini

Menjadi saksi tuhan yang satu
Dalam ucapan pernyataan
Mengangkat kami menuju ridho abadi

Ciputat- kamis, 26 April 2007
foot:
[1] Senapan dan meriam.
[2] Awas…

Episode

Senantiasa bersama membuat kita semakin lupa bahwa kita bukan satu. Jika saja kita perlu tau untuk apa kita bersatu, dan apa bedanya jika kita tetap bersama. Perlahan segalanya berakhir tanpa harus di akhiri.

***

Dika, seorang anak muda yang kesepian ditengah keramaian yang berkenyamuk. Mungkin di luar sana semua tak seburuk yang ia bayangkan. Semuanya terdengar begitu menakutkan, bahkan untuk menutup telinga saja ia butuh empat tangan yang tiap tangannya berjari 2x lipat dari jumlah manusia normal. Dan di tambah dengan bantuan bantal yang di akhiri dengan kuncian pintu yang takmungkit terbuka jika tidak di di dobrak.
Dika, entah seberapa dalam ketakutan yang ia alami dalam 12 jam terakhir, ia ada dalam situasi yang memaksanya untuk berpura-pura tidur. Bahkan rasanya ia ingin pura-pura mati. Untuk apa bersama jika hanya kesendirian yang ia rasa. Dunianya yang hiruk dengan teriakan dan tangisan yang sendu, dan harus memilih antara berteriak dan menangis, hingga keduanya mati.

***
Perbuatan mereka membuatnya semakin tak bisa berfikir. Akhirnya ia menjadikan mimpi-mimpi sebagai kereta masa, untuk membantunya melompati tiap saat riuh yang ia takuti. Ia tak pernah takut pada gelapnya kamar tidur, bukan juga pada sepinya malam, bahkan ia menikmatinya. Ia hanya takut pada sebuh pilihan, sebuah hal yang pasti ia temui dalam tiap langkah kehidupan, bahkan tiap detiknya.
Jika saja Dika harus memilih makanan mana yang ia akan santap lebih dahulu, dia akan memikirkannya untuk saat yang lama. Jika Dika harus memilih minuman mana yang lebih dulu untuk ia minum. Mungkin hanya ada satu jawaban untuk itu, dan kamu dapat memastikannya.
Ia perlu sebuah rumah sakit yang super canggih agar bisa memberinya terapi untuk kesembukan diri dalam akalnya, hatinya, jiwanya, dan raganya.
Atau sebuah tempat untuk bercerita tentang kegilaannya.
Dan ditmbah dengan seorang ahli yang sanggup mengubah kehidupannya.
***

Sebuah AGAMA menyadarkannya dari kepura-puraannya selama ini.
Dika menghampirinya dengan hati-hati, Agama yang sudah di perkenalkan dan ia lihat dalam keseharian yang lama. Buakan sejenak dia berfikir untuk menyelam dalam samudra yang sejernih mutiara liar, secerah cahaya murni, sedalam langit dan seisinya, sesempurna ikatannya, secanggih keteraturan, yang tak sebanding dengan kata-kata. Walaupun dengan kata-kata itu ia dapat mengerti inti darinya, dan tujuannya. Di dalamnya ia dapat belajar memilih dan menjadi orang terpilih untuk memilih. Bukan berlari atau berpura-pura mati, bisu, buta dan tuli.
”Hidupku akan selamanya dalam keabadian, kehidupanku cukup sampai disini saja.”

21 April 2007

TERKADANG…TERKADANG….

Terkadang hidup harus memilih, terkadang hasil tak sesuai dengan keinginan, terkadang hati sering mengingkari, terkadang gaya dan style mengalahkan keindahan hati, kebanyakan terkadang itulah yang membuat hati terkadang selalu ragu untuk melangkah, ragu untuk mengambil tindakan. Takut salah, takut tidak sesuai, takut takut dan selalu takut. Memang manusiawi sih perasaan tersebut, tapi jika berlebihan malah membuat hati menjadi resah.
Sahabatku, kita memang membutuhkan yang namanya Ijazah, STTB, STK, Sertifikat dan apalah sejenisnya, tapi kadang kita sangat sangat terlalu menginginkan kertas tersebut. Memang tidak bisa di pungkiri jika kertas tersebut memiliki arti yang kedua dan bahkan pendukung hasil jerih payah kita belajar, tapi janganlah selalu kita nomor satukan sehingga terkadang ilmu yang lebih menjadi ragu setelah tertutup dengan ketidakjelasan kertas tesebut.

Maaf jika kata-kata saya terkesan menggurui, namun jauh di lubuk hati saya bukan itu maksud saya, tapi saya hanya mengingatkan kembali, mungkin sahabat-sahabat lupa akan hal tersebut.
Saya hanya jadi sedih mendapatkan sabahat-sabahat saya, sahabat kita, sahabat bangsa rela dan pergi untuk mencari sebuah kejelasan akan kertas tersebut. Dan bahkan lebih sedih lagi saat status sebuah tempat belajar menjadi bahan pertimbangan untuk kita terus maju atau tidak melanjutkan belajar di tempat tersebut.

Kesedihan saya bukan hanya itu, bahkan jiwa yang dulu ramai dan bercanda, bahkan mereka-mereka memiliki karakter yang sangat berbeda, unik dan mengasikkan, tapi sekarang saya merasa berada di tempat yang jauh, jauh dari segala keakraban yang dulu.

Saya masih ingat perjuangan saya dulu saat saya memutuskan untuk masuk sekolah SMP Terbuka yang pada saat itu baru di buka tahun pertama, dan tidak tahu akan kejelasan sekolah tersebut, namun saya lalui dengan tetap istiqomah dan yakin, inilah pilihan yang Allah berikan untuk saya, sekarang tinggal memanfaatkan kembali jangan sampai hilang di genggaman. Tidak tanggung-tanggung perjuangan saat itu, dimana kami tidak mendapat kan pelajaran yang cukup (memang tidak di pungkiri, jika biayanya jauh lebih rendah dari sekolah swasta sekalipun) tapi bukan itu yang saya cari, ilmu, ilmu, ilmu sekali ilmu. Karena tanpa ilmu saya akan tersesat, tanpa ilmu saya gelap, tanpa ilmu saya buta, tanpa ilmu saya tidak tau tujuan saya akan kemana!. Perjuangan tidak sampai di situ, status kejelasan yang tidak menentu (walaupun itu program pemerintah) tapi saya yakin, jika suatu saat saya tidak di akui, saya masih punya ilmu. Karena status hanyalah boneka buatan pemerintah. Saat semester kami di beri soal paket B sedangkan pelajaran yang kami terima dari Modul-modul kiriman pemerintah adalah paket A, karena kami di anggap tidak dapat mengerjakan paket A. Justru yang terjadi apa? Setelah kami membaca soal paket A, justru lebih gampang di jawab di bandingkan paket B, lha wong yang di pelajari Modul paket A. Sejak itu Modul dan buku-buku khusus untuk SMP Terbuka malah di gunakan di SMP Negeri yang ternyata isinya lebih gampang di cerna. Saat kami telah memasuki kelas 3, kami di pindahkan dan bergabung dengan sekolah negeri regular (biasanya SMP Terbuka masuk siang, belajar mulai jam : 02:00 siang, dan Regular Negeri belajar jam : 08:00 pagi), itu pun juga karena siswa-siswa SMP Terbuka mulai rontok dan sudah tidak betah. Ya… akhirnya mulailah kami bergabung, walaupun duduknya dempet-dempetan (karena kelas memang sudah penuh oleh regular), dari itu kami sudah mulai berkembang, dan sedikit demi sedikit perubahan itu tertampak, yang pada akhirnya tetap kami tidak dapat melampui nilai SMP Negeri dan SMP PGRI, namun kami tidak berkecil hati, nilai rata-tata kami dapat melampui rata-rata dua sekolah tesebut yang di bangga-banggakan, karena di SMP Terbuka tidak ada yang memiliki nilai lebih tinggi dari dua sekolah tersebut, dan tidak pula lebih kecil, dan itu kami lalui belajar yang optimal selama 1 tahun belajar bergabung dengan siswa regular (sedangkan selama 2 tahun terlewat dengan ketidakjelasan belajar) bagaimana jika kami belajar bareng saat pertama kali kami masuk, ya mungkin sahabat-sahabat bisa bayangkan sendiri….
Sahabat tahu, setelah saya pahami, ternyata karena niat kami yang ingin belajar dan tidak memikirkan status akan sekolah tesebut, kami hanya butuh belajar, belajar dan belajar. Ternyata status itu akan tidak berlaku setelah prestasi berada di depan kita, justru statuslah yang akan mengekor setelah prestasi di ukir.
Sahabatku yang masih di rundung masalah, di rundung ketidaktenangan jiwa, keresahan hati, kebimbangan keputusan. Jangan putus asa, jangan takut mengambil sikap.
Sahabatku yang membaca tulisan ini, bukan maksudku menahan jiwa sahabat untuk terus berada di posisi saat ini, namun pikirkanlah, jika itu lebih baik, lakukanlah. Jika itu sesuai dengan keinginan hati kerjakanlah. Jika tidak sesuai dengan keinginan hati buat apa di tahan-tahan, carilah yang sahabat cari. Masing-masing jiwa memiliki keinginan dan pemikiran yang berbeda, itu karunia Allah, jangan di pungkiri.
Tidak ada perjumpaan tanpa perpisahan, yah itu memang pepatah kuno dan basi, namun tidaklah salah jika masih kita pakai sampai saat ini. Jika kita tidak berpisah sekarang, suatu saat lambat laun pasti itu akan tejadi.
Sahabatku, aku masih ingat puisi dari sahabat karibku. Walaupun ada sedikit perubahan, namun mungkin bisa jadi renungan.

Sahabatku….
Jika engkau sudah tidak betah berada di tempatmu saat ini
Lihatlah pekerjaanmu, mungkin bisa menyenangkan, buat apa kamu resahkan.
Namun jika dari pekerjaanmu pun sudah tidak menyenangkan,
Mungkin masih ada di sudut lain yang memberi warna, mungkin suasananya yang akrab sehingga engkau masih betah.
Tapi jika itu pun juga tidak mengobati, mungkin masih ada lagi, coba engkau lihat orang-orangnya, mungkin antik, menarik, bahkan mungkin unik.
Tapi jika hal tersebut sudah tidak mendukung lagi, tempat yang tidak betah, pekerjaan yang membosankan, suasana yang tidak menyenangkan serta orang-orang yang menyebalkan, mungkin masih ada lagi yang terlewat olehmu.
Mungkin gedungnya yang megah dan indah, engkau masih bisa memandangnya saat engkau pulang dari rutinitas mu yang mungkin memberikan suasana lain, jika itupun juga tidak mempan, masih ada burung di sekitarnya, langit, awan, tanah, rumput, bahkan mungkin suasana pulang pergi engkau yang mungkin memberi kesan.
Jika semua itu sudah engkau lakukan, sudah muak dengan semua itu, sudah tidak mampu, buat apa engkau masih bertahan di situ, apalagi yang engkau cari, sekarang pergilah, pergilah, carilah apa yang engkau cari, wujudkan apa keinginanmu. Jangan lagi engkau tunda, pergilah sahabat….mudah-mudahan itu jalan terbaik.
Yakinlah dengan kemantapan hatimu, yakilah dengan janji Allah, yakinlah dengan hatimu sendiri. Engkau bahagia kamipun akan ikut bahagia.
Semoga Allah merahmati setiap langkahmu menuju keridhaannya.

Sahabat yang memikirkan sahabat

Pasar minggu: 20 April 2007 at 08:08 PM