Halo...
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!
maka apa yang engkau pikirkan tuangkanlah, apa yang engkau khayalkan maka nyatakanlah, apa yang engkau inginkan maka kabulkanlah
Posted by 4ci2 at 9:32 PM 1 comments
kulihat segulat kesedihan diwajahnya. matanya memangdang lurus ke depan. mukanya kaku. perlahan, seuntai tetesan bening mengalir dari kelopak bawah matanya. lama kemudian, tubuhnya berguncang. isak demi isak mulai bernyanyi. melantunkan nada khasnya.
aku tak tega membiarkan ia sendiri. tak pantas,jika aku hanya berdiam diri. perlahan ku hampiri ia.
kutepuk pundaknya pelan dan tanganku bertengger lama di pundaknya. ia menoleh perlahan. pandangan matanya menghujam hatiku. adaperasaan iba padanya.
aku kaget saat ia telah bangkit dari duduknya. ia kini mengegegam erat tanganku. mutiara dari matnya semakin deras di hasilkan. bibirnya milai bergerak-gerak. sesekali ia menggigit bibirnya. sedalam itukah kepedihan yang menimoanya?
"aduh...!" aku menjerit kecil saat ia memelukku tiba-tiba. hampir saja aku tidak bisa bernapas. ia memelukku dengan sangat. lalu, tangisnya pecah.
lama aku terheran-heran, perlahan ku usap punggungnya. mencoba mengambil sedikit beban perasan yang tengah ia hadapi.
"mereka menyakitiku lagi, saudaraku..."katanya di sela-sela isak tangisnya.
"lagi...?" aku bertany, kurang paham dengan perkataannya tadi.
"tak tahu berapa kali mereka berbuat begitu!"jawabnya.
"beberapa kali? maksudmu...?"
"ya... sudah lama mereka terus-menerus berbuat begitu. aku tak mampu menahanya..." ia melepaskan pelukannya . tapi, aliran di matanya masih basah.
"jadi, janji-janji mereka itu..."
dia tertunduk. tangisnya pecah lagi. aku peluk ia kembali. ada rasa yang sesak, bercampur marah dan sedih. apalagi dulu pendahuluku menitipkan ia padaku. dan saat waktunya dia kutitipkan pada mereka...? sungguh... tak akan aku maafkan.
@ @ @
"janji..?! kalian akan menjaganya?" tanyaku pada mereka dulu. saat pelantikan angkatan pertama, yaitu mereka.
diam. hanya itu yang mereka bisa lakukan.
"kami agak sedikit ragu, kak!" jawab sang ketu diantara mereka.
"ragu kenapa? apa sebab begitu?" tanya ku sambil mengililingi mereka.
"kesatuan" jawab salah seorang diantara mereka. yang memiliki perawakan yang cukup tinggi untuk seorang lelaki. yang kini ia menjabat sebagai seorang wakil ketua. sorot matanya tajam. dan mulutnya yang tadi berucap kini tertutup rapat,kemudian tersenyum tipis saat ku pandangi wajahnya. namanya birin.
"apa sebab jawabanmu demikian, birirn...?"
semua orang memandangnya. tatapan mereka membuatku sedikit kaget. suasana pagi hari ini menjadi panas. bahkan, mengalahkan mentari yang kini bersembunyi di balik awan.
"hhmm..., sebab kekeringan dalam ukhuwah." jawabnya mantap sambil menyeringai.
"iya, kak. itu yang terjadi pada kami" sambung ogi sang ketua. ia tertunduk seolah ada beban perasaan yang sangat berat.
ku tepuk pundaknya dan sedikit ku remas. senyuman ku ukir di bibirku dan ku berikan padanya.
"percaya diri, berpikir positif, maka lingkungan akan mempositifkan kamu. itu kuncinya"aku memberi solusi padanya. dan aku tersenyam kembali untuknya.
ia membalas senyumanku. bibirnya ia tarik datar dan kering. setelah itu ia memperlihatkan giginya. seolah ada ragu yang ingin ia katakan.
"insya Allah. tapi, saya kurang yakin." jawabnya kemudian
"pasti bisa, ada yang lain di belakangmu. tabah dan sabar."kataku terakhir.
ku tatap mereka semua. dan ku tatap pula dia, yang dulu pemulaku, menitipkan ia padaku. ku peluk ia erat-erat.
"saudaraku, ku titipkan engkau pada mereka. berbahagialah. anyak yang akan merawatmu." kataku padanya. ia mengangguk.
mobil perpisahan telah datang, aku menaikinya. lalu mobil pun melaju. lambaian tanganku memutuskan pita penghalang. ada sesuatu yang jatuh dari mataku. perlahan dan kemudian menderas. pandabgan mataku kabur-kaburan. ada rasa di hati. tapi, inilah hidup. perjalanan panjang.
@ @ @
"kini semuanya berakhir, saudaraku. tapi, ada harapan saat kau jawab panggilanku."ia menyadarkanku dari lamunanku.ia mengajakku dudk di tempat ia termangu tadi. kemidian, ia menatapku tajam.
"kemana saja kau selama ini? mengapa klau tak memberi kabar, seperti apa yang kau janjikan dulu?"tanyanya.
aku terkujut. ku tatap matanya yang penuh dengan pertanyaan. tak sampaikah kabarku padanya? mustahil. bisik hatiku.
"oh ya? aku sudah berkali-kali kirimi kau kabar tentang ku. tapi, kau yang tak membalasnya." jawabku
"berkali-kali? satupun aku tak pernah baca. apalagi mendengar dari mereka kabar datangnya suratmu."
"benarkah?!" dia mengangguk mantap. "kurang ajar! ini tidak bisa di maafkan." aku menjadi geram terhadap mereka. apa itu yang dulu mereka katakan ragu?
kulihat mereka yang kini tengah mendidik angkatan baru, penerus pengasuh bia, yang kini duduk bersamaku.
sungguh beda, apa yang dulu aku ajarkan pada mereka, dengan apa yang mereka ajarkan pada didikan mereka. menyimpang jauh.
perlahan ogi dan birin mendekatiku. kupandangi mereka berdua. mereka tertunduk, entah malu atu merasa bersalah.
"maafkan kami, kak" ogi dan birin memelukku tiba-tiba, saat aku berdiri untuk bercakap-cakap dengan mereka.
"maafkan kami yang tidak bisa membimbing mereka dalam mengasuh dia." birin ikut berbicara.
isak tangis terdengar dai mereka berdua. tubuhku ikut bergetar karena goncangan mereka. betapa dahsyatnya ragu mereka!
kulepaskan pelukan mereka. kutatap satu persatu dan mereka masih tertunduk.
"sudah saya coba berkata dari hati ke hati. tapi, saran dab solusi yang saya ketengahkan pada mereka di tolak habis-habisan. malah mereka menerorku dan mengucilkanku"kata birin saat sudah berhenti tangisannya.
"kenapa tak kau adukan padaku?"
"saya bingung,kak. saya merasa sangat tertekan. tidak tahu kemana saya berkeluh kesah."
"apa saja yang membuat dia,intifadhohku, rohisku terluka?"
"munakahat, bercanda terlalu akrab seolahhijab yang di pakai akhwat tidak pernah ada. bercanda sambil memukul lengan atau apa saja. jauh dari dulu ketika kakak ada."
aku menyengrikan dahiku. pantas di seberang sana aku tidak tenang. selalu memikirkan mereka. pantas suratku tak pernah berbalas.
dan kenyataan pun hadir dengan penuh kesadaran. kulihat pemandanganyang sungguh menyesakkan.ada yang sengaja meminta di foto berdekatan. dan yang lebih parah, ada yang berboncengan naik motor, ikhwan akhwat. harus bagaimana aku bertindak?
bertambah geram terus diri ini. bagaimana tidak. saat suara akhwatnya di lantangkan.
"terserah kakak, mau diapakan mereka sekarang. jadwal kegiatan sedang kosong."kata ogi seolah mengkompori aku.
"baik, memang sudah tidak bisa didiamkan lagi."
kutatap intifadhohku yang kutitipkan pada mereka. harus dengan tangan ini aku menyembuhkan saudaraku itu. aku harus segera bertindak.lalu ku sambar megaphone yang ada di atas meja.
"panitiaa... kumpul...!!!" teriakku dari megaphone di tengah lapangan. mereka terpogoh-pogoh menghampiriku. mungkin mereka berrtanya kenapa aku menyuruh mereka berkumpul.
dan saat mereka sudah berkumpul, harus benar-benar ku tumpahkan kekesalanku. demi intifadhohku, rohisku. agar ia tidak terluka lagi.
@ @ @
Posted by 4ci2 at 7:38 PM 0 comments
Labels: Nanda Awan
KENANGAN
Jakarta, 9 Maret 2007
Bayangan berjalan seiring
ketika semuanya datang
pandang dan tatap yang sering
menyapa bagian dalam jiwa
menyisir lorong rasa
menggapai angan dulu
perlahan bercerita
tentang teman dan pemandangan
tak nyata itu
menyusup angan dan pikir
mengelabu dalam kalbu
seiring desiran bayu masa lalu
mengawan di hati
turun menetes asa duka
persahabatan dan pertemanan
cinta dan kasih pembinaan
dulu...
kelak ku tatap langit rabithahku
menyusupkan bintang wajah mereka
menyala terikat sinar hakiki
berharap pertemuan di syurga
merentas jalan yang pantas
tak pintas
MENGIRI RINDU
Jakarta, 9 Maret 2007
perasaan yang di rindukan
tentang tanah dan arah mata angin
menyusuri kedamaian itu
saat dia masih memintal
napasnya, saat ia tersenyum
teman dan sahabatnya berkeliling
dan, perlombaan mereka
saat perkatan mu yang
jernih, menghiasi pikiran mereka
keunikan yang mengalun
kadang arsyNYA berguncang
saat DIA berbicara tanpa penerjemah
dan lautan pengampunan menerpa
cinta dan dicinta
kedermawanan dan istana putih di syurga
adil, kenapa kau tak menyentuh
mengapa ku tak hidup bersamanya
kedamaian yang kucari disini
tersesat di rimba yang antah berantah
dan tak berujung
hanya gigitan ujung bibir
membayangkan kau dan sahabatmu
bercebgkrama dan membina
tetesan iri dari mataku
tapi, aku sadar unik diri yang
hina. kemunapikanku
tak mampu dan tak akan menjelma
itu semua
lalu perkenenkanlah aku denganku
agar unikku seperti mereka
TERKOYAK RINDU
Jakarta, 03 April 2007
saat malam makin mengelam
telah berlalu keseriusan
luruh dalam kesibukan
Rabb berpaling dalam kedukaan
kelakuan, dan azam ternistakan
kelelahan ynag meradang
seolah kenangan membayang
hanya sesuatu itu yang
tak kumengerti, kenapa?
padahal mampu selama ini ku jaga
agar tetap bersama raga
berjalan dengan arah jalan
kini saat waktu berkata
tepat, saat hampa tertawa
sesuatu itu menangis, menangisi kesendirian
yang ku bunuh
padahal kehidupan ada di sana
lalu luruh dalam gemuruh dunia
menyalak napsu dunia
merauh kerinduan yang terluka
kini saat serpihan itu menyerpih lagi
tepatnya ku tak mampu merakitnya
terlampau menjadi partikel
saat itu kemana sadar diri?
kini dan hanya kini
ku tangisi rinduku...
rindu adakah kau kan kembali
mengisi ruang hati
dan saat itu Rabbku
menertawakan angkuhku...
RINDU YANG HILANG
Jakarta, 05 April 2007
jalanan yang dilalaui
berhaluan dua ciri
kehampaan dan cahaya yang menyinari
sama berbanding, seri
kegelapan dan cahaya putih
antara kematian dan kehidupan
di bentangkan di depan diri
memilih kemanakan meniti jalan
kulihat namaNYA tersebar di langit
berkerlip dipadu keharuman
alam semesta
dan ku toleh sebelah kiri
kuburan ynag berlagak
kata dan perbuatannya
menjemukan diri
kucaci dan ku kritiki semua itu
terus menerus hingga tiba
diantara dua persimpangan
kegelapan yang sama. Tapi, sadar
merayapi sunyi ku terbuai
melembai jauh dari diri
menelan diri dalam kegelapan
sadar ku akan teberan namaNYA
ku ingin pulang... sungguh ingin
ku tersesat diantara kuburan dunia
tak tahu jalan cahaya
semuanya menggelap raksasa
jauh diri ini menyapa
kasadaran jiwa yang terjaga
sungguh dalam diamku, berkata
RABB... Aku ingin pulang...
Posted by 4ci2 at 7:29 PM 6 comments
Labels: Nanda Awan
Posted by 4ci2 at 6:02 PM 0 comments
Labels: Nanda Awan
Jalan desa kampung Salam, pelabuhan Alaji. Pertempuran semakin sengit, barisan blokade yang kami buat ternyata cukup memberi arti. Mungkin tempat yag kami sebut benteng ini tidak akan bertahan lama, tapi jika kami dapat bertahan beberapa hari lagi mungkin keadaan akan jauh lebih baik.
Di belakang kami para tetua adat dan masyarakat sedang mempersiapkan pasukan yang akan menyerang orang berhidung sampan terbalik itu beberapa hari lagi. Aku ingat Amir yang dari seminggu lalu sudah berlatih melakukan gerak serang dalam air di anak sungai kampong Salam. Bersama beberapa puluh orang pemuda lain yang terpilih menjadi pasukan inti. Dan kami yakin bahwa yang kami lakukan tidak akan sia-sia, karna kami punya sebuah senjata yang tidk mungkin di miliki oleh orang-orang berkulit aneh dan bau itu. Kami memiliki Tekad dan Iman yang tidak dapat mereka beli.
***
Aku sendiri tidak terpilih dalam pasukan itu karna aku tak terlalu mahir bermain keris dan tombak di dalam air. Dan kini dengan beberapa kawanku aku menjadi pasukan pengacau bagi tentara berbaju kulit dan bertopi besi itu. Tugas kami mulai dari membuat parit dan lubang jebakan sampai harus jadi umpan untuk mengalihkan perhatian mereka agar tidak berkonsentrasi melakukan pembangunan marks mereka, karna jika markas mereka dapat di selesaikan cepat. Tentu akan sangat merepotkan. Bayang kan saja dengan senjata yang mereka sebut ”geweer” dan ”geschut”[1] itu kami hampir tidak memiliki kesempatan untuk mendekati mereka.
***
”Ji...,Aji,” teriak Barto dari belakang, ”ada apa” timpalku.
”Kita sudah kehabisan Katak buat makan besok, ini yang terakhir.” sambil berjalan mendekati teman-teman yang lain untuk membagikan makanan yang kami sebut katak.
”Ji..., sampai berapa lama lagi kita harus main sembunyi tikus dari kucing seperti ini?” gumamnya padaku sambil memberikan ku jatah makan yang tak seberapa banyaknya itu.
”Sabarlah To, mungkin akan ada yang akan mengantarkan kita makanan kesini, atau mungkin ada utusan yang akan memberitau kita bahwa tugas kita sudah berakhir, atau mungkin merekapun memang sedang sibuk dan sama kekurangannya seperti kita. Yang terpenting sekarang adalah kita harus tetap pada tujuan semula. Jangan sampai kita malah jadi berburuk sangka pada mereka apalagi sampai menuduh mereka yang tidak benar.”
Pagi ini kami mulai bersiap untuk melihat kadaan mereka para penjajah negri-negri. Kabarnya mereka sudah merhasil menguasai banyak negri, menundukkan banyak raja, membinasakan banyak nyawa, merampas banyak harta, mulai dari orang miskin sampai orang kaya. Bukan hanya itu mereka juga menculik banyak wanita dan anak-anak untuk di jadikan budak atau hanya untuk mereka permainkan sebagai pemuas hawa nafsu nya. Mungkin di dalam sana, di kapal-kapal mereka adikku masih hidup. Dari Barto aku tau jumlah mereka sekitar 800 orang. Dengan jumlah sebegitu besarnya dan dilengnkapi dengan senjata yang berbunyi nyaring itu, kampung kami dapat dengan mudah di taklukkan.
***
Kampung Salam yang terletak di pulau Salam ini memang bukan pulau yang begitu besar dan subur. Tapi menurut para tetua pulau kami ini sangat strategis untuk di jadikan markas karena memiliki tambang besi dan sumber ikan yang banyak. Hingga kini kampung salam yang berada di pulau salam ini sangat terkenal hasil besinnya. Begitu pula dengan pemudanya yang pandai memainkan senjata.
Kami menjual hasil kerajinan kami ke pasar di kota raja, sekitar setengah hari perjalanan dari si kampung kami denngan menggunakan sampan dan kapal dayung. Kami dikenal sebagai orang yang tidak suka berperang walaupun kami pandai bersilat dengan keris dan tombak. Itu karna kami tau diri, kami merupakan orang yang minoritas di sini jadi harus panddai untuk mengambil hati orang lain.
Kebanyakan dari kami adalah nelayan dan tukang besi. Pertanian desa kami hanya singkong dan pohon kelapa. Itupun hanya dapat mencukupi kebutuhan orang-orang kampung saja. Katak adalah makanan yang di buat dari kedua bahan tersebut.
***
Keadaan tiba tiba berubah menjadi begitu kacau, mereka menyerbu benteng kami dengan kekuatan penuh ketika kami sedang beristirahat pada malam hari. Kami fikir mereka akan mengkonsentrasikan kegiatan mereka pada pembangunan markas mereka hingga beberapa hari kedepan. Dan kami berencana menyerbu kapal-kapal mereka besok malam. Dan ternyata kami kalah cepat bergerak dengan mereka.
”To.., cepat beri kabar pada orang desa tentang hal ini, dan jangan lupa untuk mengirimkan bantuan ke sini. Sebaiknya penyerangan kapal di lakukan malam ini juga karna pasti mereka sedang mengkonsentrasikan kekuatannya di sini. Dan kamu sebaiknya tidak usah kembali, karna kamu harus menuntun mereka menuju kapal-kapal iblis merah aneh itu. Dan aku juga minta tolong padamu untuk meyampaikan salamku untuk Amir agar ia tidak lupa menyelamatkan adikku yang mungkin masih hidup di dalam sana. Dan titip ini untuk Fitri. Sebuah belati yang aku buat sendiri sepanjang satu jengkal, yang berukirkan ” jangan takut ” di gagangnya. ”
Cepat Barto menoleh pergi berlari di antara semak dan menoleh sejenak sambil berucap tanpa suara ”ALLAHU AKKBAR.” aku hampir tidak dapat melihat gerak bibirnya. Tapi aku bisa merasakan getar dan hangat yang sangat saat dia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya setinggi dada.
”Jaka, Dullah dan Arif kemari!” sahutku. ”kalian cepat naik ke atas pohon dan bersiap memanah barisan penembak mereka, dan jangan turun sampai mereka berada tepat di bawah kalian.”
”Yang lainnya...! cepat buat blokade di setiap pos kalian, dan jangan sampai kalian terlihat oleh lawan. Usahakan untuk tetap tenang dan seranglah sesuai dengan rencana yang telah kita sepakati. Ingatlah bahwa apapun yang terjadi dengan kita hari ini, ALLAH S.W.T maha mengnetahui amal hamba-hambanya. Tidaklah IA menurunkan suatu cobaan kepada umatnya, kecuali untuk memisahkan antara orang-orang yang ingkar dan yang benar-benar beriman. Dan bagaimanapun akhir dari seluruh pengorbanan ini, sungguh akan kitaserahkan seluruhnya pada Zat yang menguasai dunia dan akhirat. Apa kalian paham?” dengan berbisik aku mengkomando kawan-kawanku. Dan dengan serentak mereka menganggukkan kepala tanda kefahaman dan kebulatan tekat serta teguhnya imam yang kami miliki.
Tanpa di komando mereka segera bergerak teratur dan hampir tanpa suara. Semua telah megerti apa yang harus dilakukan.
Tentara belanda itu segera saja datang sambil mencoba mencium wangi raga kami yang terasa segar di hidung mereka. Bagi mereka setiap badan dan juga nyawa adalah mainan boneka yang siap di tembak dengan senapan, dan di kirim ke tempat pembuangngan untuk di kubur atau di tumpuk hingga membusuk. Agar jika ada orang yangmelihatnya akan merasa takut pada mereka. Juga dengan meriam yang mereka tarik itu seolah-olah mereka berteriak; ”Kalian hanya kecoa yang tidak akan mampu mendekati kami apalagi untuk mengotori seragam kami yang gagah ini.”
Tapi itu semua terlihat berbeda di mata kami. Setiap tubuk mereka adalah hadiyah yang sangat membangngakan untuk di terima dengan keris dan pedang, ataupun seperti harta yang halal untuk di rampas denngan tiap mata panah kami. Tapi diantara kami ada yang mengganggapnya seekor babi atau anjing na’jis yang siap menularkan penyakit dan kotoran yang sulit untuk di cari penawarnya sehingga harus segera di bunuh atau di usir. Tapi apapun anggapan aku dan kawan-kawan semua pada mereka, satu yang kami ingat adalah ”janganlah kalian memerangi suatu kaum sampai ia mengeluarkan kalian dari negri kalian,” serta ”berjihadlah kalian dengan harta kalian dan diri kalian dijalan Allah ...”
Sketika mereka terkejut dengan kehadiran anak panah kami yang langsung merampas kesadaran mereka, tepat di depan hidung paruh ayam mereka. Hanya dengan satu aba-aba dariku mereka langsung meresponnya dengan kelebat anak panah yang di susul dengan suara letusan senapan dan teriakan mereka. ”opletten..!”[2] teriak komandan mereka sebelum sebuah keris menghujam dadanya dan membuat sebuah ruang yang menganaga di jantung hitamnya. Begitu pula denganku yang langsung merasakan panasnnya timah dari serdadu-serdadu terkutuk itu. Abdullah cepat membalasnya dengan anak panah yang di racuni dengan bisa ular yang ia kumpulkan setiap kali bertemu dengan mahluk yang bertubuk lues itu. Entah di sebelah mana pelor itu mengeram di tubuh ini. Tapi entah mengapa yang aku lihat hanyalah wajah mereah mereka yang sepertinya minta di bebeskan dari busuknya hati dan jiwa mereka sendiri. Dan dengan senang hati aku akan memenuhi permintan itu.
Dengan jumlah yang lebih sedikit dan makin sedikit kami masih saja melakukan paerlawanan yang harus memberikan arti bagi orang lain di belakang kami. Perlawanan yang di dasari atas rasa cinta pada tanah air, dan juga rasa cinta pada sesama serta rasa cinta pada kebenaran.
Untuk yang kedua kalinya serdadu ini menusukku dari belakang, rasanya seperti di kuliti saja. Dengan senapan di tangannya yang hendak menembakkan pelornya tepat di jantung atau hatiku, kutancapkan saja keris panjang yang di berikan bapakku ketika aku masih anak kecil dulu. Kali ini tidak lagi ke bagian parut atau dada, Semarang kerisku meminta manisnya darah di leher penjajah muda ini. Dan tentu saja permintaannya aku kabulkan. Walau tanpa sadar sebuah peluru menembus jantungku secepat kilat di langit yang mulai menurunkan rintik hujannya.
Panas yang terasa pada tembakan pertama tadi rasanya tiba-tiba berganti dengan dingin yang entah datang dari mana. Bukan layaknya dingin yang membekukan, dinginnya membuatku tenang dan nyaman. Jantungku sudah berhenti memompa darah sejenak tadi. Nafasku serasa sependek rumput alas tidurku kini. Mataku melihat para tetua kampung, bapak dan mamak, adik sahid, amir kawan dekatku, fitri dengan senyum dan belati di tangan yang tergegenggam kuat, juga kawan-kawan yang lain tadi bersamaku, serta orang-orang kampung yang tersenyum ramah. Semua orang yang ku kenal ada di situ, seperti menantiku untuk pergi bersama.
Tanpa beban aku mengulurkan tangan yang langsung di sambut oleh semua orang. Tanpak olehku desa Salam yang sudah rata dengan rumput yang meng abu di kejauhan dengan seseorang yang menagisinya.
“Barto…” teriakku dari sini “jangan tangisi kami lagi, bangunlah kembali apa yang sudah mereka hancurkan. Dan ceritakan pada anak-anakmu kisah ini. Dengan SALAM untuk SALAM.
***
Salam negri pijak kaki kami
Salam dalam genggam jemari kami
Salam hari kemudin kami
Salam untuk salam
Jika kami mati nanti
Jika hari tenggelam esok
Atau bumi berhenti berlari
Kami mau kau tetap disini
Menjadi saksi tuhan yang satu
Dalam ucapan pernyataan
Mengangkat kami menuju ridho abadi
Ciputat- kamis, 26 April 2007
foot:
[1] Senapan dan meriam.
[2] Awas…
Posted by 4ci2 at 8:40 PM 0 comments
Labels: Didit Sukmana
Posted by 4ci2 at 8:40 PM 0 comments
Labels: Didit Sukmana
Posted by 4ci2 at 3:05 AM 0 comments
Labels: mangku adam
This album is powered by BubbleShare - Add to my blog